Selasa, 22 April 2014

CAVIAR

CAVIAR


Cipt : Silvia S.P
Sinar mentari telah menepi pada singgasananya. Membiarkan kilauannya yang terpancar menyeruak luas pada seisi bumi. Kilauannya begitu terang, memasuki segala celah-celah terkecil yang tak terlihat. Mentari, tengah berkuasa sekarang. Gorden dari surai emas tampak digulung rapih dari geraiannya, membuat kilauan mentari terpaksa masuk ke sebuah kamar. Kamar yang berdiri didalam sebuah rumah besar bagaikan gedung pencakar langit, membuat orang baru yang masuk dapat tersesat didalamnya. Kilauan itu tampak semakin agung, begitu kilauannya menerpa seluruh penjuru kamar dengan aksen megah itu. Keseluruhan kamar didominasi warna emas dengan kerlap-kerlip perak yang menghiasinya.
Dengan ranjang raksasa beratap kenopi berkerut bagaikan tempat tidur ratu inggriss atau alih-alih konglomerat.  Seprainya halus dan diganti setiap harinya dengan aroma bunga tulip murni yang dipakai pembantunya saat mencuci hingga menempel pada tubuh seorang gadis yang tertidur diatasnya.

Gadis itu bersurai lembut dengan emas sebagai warna rambutnya. Tak percaya? Gadis itu juga tak mengerti. Ini semua karna mendiang ayahnya, yang menggunakan uang yang besar untuk sebuah rekayasa genetika. Membuat gadis itu  berbeda dengan orang-orang disekitarnya. Gadis bersurai emas itu terbangun, pemandangan pertama yang ia lihat adalah para pembantunya yang berlalu lalang. Mengganti bunga tulip yang belum layu dengan bunga yang baru.
“Nyonya besar, ini sarapannya” Ucap seorang maid sembari meletakan nampan sarapan diatas paha gadis itu.
“Jangan panggil aku seperti itu, aku bahkan masih 17 tahun.”
Pembantu itu hanya tersenyum, dan berlalu pergi. Gadis itu pun bergegas menyelesaikan sarapannya, dan lekas bersiap-siap untuk berangkat kesekolah. Setelah semuanya siap, gadis itu bercermin sebentar lalu mengikat rambutnya tinggi, dan segera menghampiri ibunya yang sudah menunggu didalam limousine putihnya. Tak butuh waktu lama, ia pun sampai disekolahnya. Semua mata tertuju padanya, serta ibunya yang baru saja keluar dari mobil mewah itu. Pemandangan yang sama yang ia dapatkan disetiap harinya saat sampai kesekolah. Ia benci tatapan itu, tatapan segan-takut-kagum, secara bersamaan itu. Ia benci menjadi berbeda! Ia benci menjadi Si Kaya!
“Silvia,Jangan membungkuk! Dan ingat!  Ada event besar nanti malam, segera pulang jika sudah selesai sekolah.Okay?Sweet heart?” Ucap Ibunya memperingati dan setelah itu pergi dengan limousinenya.
Silvia-gadis itu-pun segera berlalu menuju kelasnya, duduk dibangkunya dengan seorang teman laki-laki yang duduk bersama dengannya. Dia-Kai- pria berkulit tan dengan garis wajah yang tampan. Jangan salah paham. Mereka hanya bersahabat. Ada seutas tali tipis diantara cinta dengan sahabat laki-laki. Tapi jujur Silvia tak pernah merasakan debaran jantung sedikitpun ketika bersama laki-laki itu. Silvia mendesah berat, dan membuka tasnya lalu mengeluarkan kotak keemasan yang dibubuhi pita perak, ia pun menyerahkannya pada Kai.
       “Aku sedang tidak berulang tahun,sil”
       “Itu bukan hadiah. Mama berencana membawa inggriss kerumahku. Itu undangan pesta,Kai. Pesta pertunanganku” Jelas Silvia
Kai terkejut bukan main, ini terlalu mewah untuk desain sebuah undangan. Pria itu mengelus lembut surai emas sahabatnya. Ia tahu, Silvia tak menyukai hal ini. Silvia tersenyum miris, yah.. ia sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan politik. Tentu itu dilangsungkan setelah ia lulus SMA dan Kuliah pastinya. Pernikahan Politik! Pernikahan yang didasarkan akan penggabungan dua perusahan menjadi satu kesatuan besar dan pasukan sekutu. Jelasnya, bukan atas dasar cinta.
Inilah sulitnya menjadi Si Kaya. Hidup penuh dengan pengekangan, dengan banyaknya kelangkaan. Langka cinta, langka kebebasan, langka tata karma dan langka rasa peduli. Tidak seindah yang diketahui oleh si Miskin atau si Menengah. Silvia tersenyum mengingat hal itu, tiba-tiba muncul pertanyaan aneh dibenaknya. Apa yang sebenarnya tak diketahui Si Miskin? Dan apa yang tidak diketahui si Kaya? Ada berapa jawaban? 100 atau hanya 1?
Hari itu ternyata sekolah pulang lebih awal. Membuat ia bingung harus pergi kemana sembari menunggu jemputannya datang. Akhirnya, ia putuskan untuk kabur berkelana sebentar sebelum bodyguardnya itu datang.  Ia berjalan menelusuri trotoar, disepanjang langkahnya, ia dapat mendengar sebuah bisikan-bisikan basi yang sudah sering ia dengar. Silvia duduk disebuah bangku panjang yang terletak dibawah pohon jati yang sudah rapuh sembari menyeruput bubblenya.
“Lihat! Pasti dia orang kaya! Rambutnya aja emas”
“Ah, apa hebatnya?! Orang kaya itu gak pernah peduli sama rakyat kaya kita! Tuh! Liat aja gayanya!”
Silvia mendengus , lalu mengalihkan pandangannya kearah lain, kearah seberang jalan. Ia mendapati seorang anak berbaju lusuh dan seorang wanita paruh baya berwajah masam.
“Bu,aku mau beli kue itu! Aku kan sedang berulang tahun. Ibu! Ibu!”
“Kue Caviar itu mahal! Buat sekolah kamu,aja susah! Udah gak usah minta yang macem-macem. Lagian buat apa ulang tahun dirayakan!!!”
Silvia tersenyum miris. Ia tak pernah tahu ada percakapan seperti itu diantara ibu dan anaknya. Sungguh ia tidak pernah membicarakan hal yang seperti itu. Yang ada hanya pembicaraan tentang saham, perusahaan, harta gono-gini, nikah politik,produk, dan investasi. Ia hanya membicarakan itu, dan terkadang ia merasa bosan. Ia berfikir , apa ibunya tak pernah punya niat untuk beramal? Kenapa yang ada difikirannya hanya memperkaya diri? Apa ia tak peduli dengan keadaan yang seperti ini?. Ia jadi membenci hidupnya yang sudah tertata rapih. Ia bahkan sering berdo’a agar ibunya bangkrut dan ia juga ibunya bisa merasakan yang namanya kebersamaan, berjuang bersama, mengemis sana-sini untuk bertahan. Tidak asing satu sama lain seperti saat ini. Jujur, ia terlalu sayang pada ibunya, untuk membencinya.
Memikirkan itu semua, membuat moodnya memburuk, dan ia memutuskan untuk kembali kesekolah. Siapa tahu saja bodyguardnya itu sudah datang menjemputnya. Tak butuh waktu lama, ia sudah berada didalam mobil mewah lagi. Sepanjang perjalanan ia hanya tersenyum miris, meratapi kesenjangan hidup yang terlalu nyata. Pengemis disepanjang jalan, dan anak-anak yang memegang gitar naik dari satu angkutan umum ke angkutan umum yang lain.
Malam pun tiba, Para tamu undangan yang sebagian besar konglomerat itu bersebaran pada seisi ruangan bergaya eropa-inggriss-itu. Kursi-kursi yang sudah tersedia diabaikan begitu saja. Kue-kue termahal didunia banyak tersaji diruangan ini dan juga makanan lezat yang menggugah selera. Kue coklat Noka-8,6 juta rupiah- ,Coklat Variation-5,4 juta rupiah-,Chocopologie- 2,5 juta rupiah- dan truffle putih-5 juta rupiah- tersedia berkilo-kilo didalam ruang eropa ini.Terlalu royal hanya untuk sebuah pesta pertunangan dan ulang tahun. Tamu-tamu itu berbincang-bincang dengan menggenggam gelas putih berisi cairan bening yang elegan. Pelayan berlalu-lalang menawarkan minuman , tapi tak satu pun dari mereka yang peduli, dan sibuk dengan urusan uangnya. Mereka hanya mengambil tanpa mengucap terima kasih,makan sambil berdiri padahal kursi sudah tersedia. Tata Krama yang buruk.
Silvia tengah mematut dirinya didepan sebuah cermin,yang memakai gaun berwarna senada dengan rambutnya. Ibunya datang menghampiri dan memakaikannya kalung bermata berlian biru dilehernya. Oh ayolah, ini terlalu mahal untuk anak usia 17 tahun.
“Mama, kapan aku bisa berjalan sendiri? Aku ingin bebas” Ucap Silvia
“Kamu sudah bebas, kamu saja yang tidak bisa menanggung mahkotamu.” Ucap Ibunya seraya tersenyum
“Tapi aku ini apa bagimu? Apa aku ini barang untuk memperkaya dirimu? Aku bahkan tak mencintainya.”
“Kamu bukanlah barang, Fakta kalau dia mencintaimu itu sudah cukup, tak perlu saling mencintai, karna pada akhirnya kamu akan jatuh cinta. Kamu seperti Caviar.” Ucap Ibunya lalu berlalu pergi.
“Apa mama masih punya uang 200 perak?” Pertanyaan itu membuat ibunya berhenti melangkah.
“Jangan bertanya yang tidak-tidak. Cepat keluar dan jangan membungkuk” Jawab Ibunya.

Silvia pun hanya bisa menurut, lagipula pesta ini juga dibuat untuknya. Mau tak mau ia harus menjalaninya. Matanya memandangi seisi ruangan,mencoba berbaur dengan suasana mewah yang ada. Matanya menangkap sosok temannya disekolah-Kai- yang tengah memakan kue dan meminum minumanya sembari duduk dikursi. Hanya dia yang duduk, yang lain berdiri semua, mengesankan bahwa bajunya yang mahal akan rusak jika mereka duduk dikursi itu. Silvia menghampiri sahabatnya itu dan duduk bersamanya, sembari memandangi orang-orang yang tengah bercengkram dan sesekali memberi senyuman manis sebagai rasa hormat.
“Selamat atas pertunangannya. Dan selamat ulang tahun juga” Ucap Kai seraya tersenyum kepada sahabat wanitanya itu.
“Terima kasih,Kai. Kau satu-satunya teman yang memandangku sebagai orang biasa. Terima kasih” Ucap Silvia
“Sama-sama, manusia dimata tuhan itu sama, tidak kaya dan tidak juga miskin. Yang membedakan hanya amal ibadahnya.”
“Menurutmu aku ini seperti apa?”
“Caviar”
Silvia mendengus, kenapa ibunya dan Kai menganggap ia ini Caviar, Sebenarnya apa Caviar itu? Mata nya menangkap pemandangan sang ibu tengah melambai kearahnya. Oh, ternyata mertuanya sudah datang. Ia pun pamit pada Kai, dan segera menghampiri ibu dan keluarga mertuanya itu.
“Halo,Kris. Kita bertemu lagi.” Sapa Silvia ramah
“Ya, Halo. Selamat ulang tahun” Ucap Kris seraya menyerahkan sebuah kotak kado pink dengan pita putih menghiasinya. Silvia membuka kotak itu, dan melihat isinya. Itu adalah sebuah kalung bermata berlian putih. Ia sudah mendapat dua kalung hari ini.
“Berbicaralah berdua, mama dan keluarga mertuamu ingin berbicara sebentar” Ucap Ibunya lalu pergi bersama keluarga mertuanya, meninggalkan Silvia dan Kris berdua ditengah-tengah keramaian.
Hening menyelimuti mereka berdua, hanya suara orang-orang disekitar mereka yang terdengar. Silvia sibuk dengan Caviar dan Kris sibuk dengan benda persegi ditangannya. Ia masih tak mengerti mengapa dua orang terdekatnya menganggap ia seperti Caviar bukankah Caviar itu Kue yang berharga 74-144 juta rupiah? Kenapa ia dianggap seperti itu? Ia mendongak menatap kearah wajah orang disampingnya, dan kenapa juga orang ini mencintainya?
“Kenapa kamu mencintaiku? Aku saja tak mencintaimu.” Tanya Silvia
“Cinta tak butuh alasan, yang aku tahu aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama” Jawab Kris seraya tersenyum kearahnya.
“Lalu aku ini seperti apa bagimu?”
“Caviar”
“Kenapa semua orang menganggapku seperti itu? Memang apa alasanmu?”
Tak ada jawaban dari pemuda tampan disampingnya, karna pemuda disampingnya itu kembali sibuk mengetik sesuatu di Handphone putihnya. Silvia hanya mendengus kesal, bagaimana ia bisa berusaha mencintai pria disampingnya kalau sikapnya seperti ini. Benar-benar menyebalkan. Silvia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pemuda disampingnya yang masih sibuk dengan handphonenya menuju sahabatnya –Kai-. Silvia mendengus saat sudah berada disana, sementara Kai hanya terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya itu. Benar-benar terlalu terobsesi.
“Kenapa kamu menganggapku Caviar, Kai?” Tanya Silvia
“Karna kamu Terlalu terobsesi, Tidak peka sama seperti Caviar. Kue itu tak sadar kalau ia merupakan kue bangsawan. Terlalu terobsesi karna kue itu laku keras, dan hingga tak sadar kalau ia adalah sebuah kue. Sama seperti kamu, Tidak peka pada kenyataan kalau kamu adalah orang kaya, dan terlalu terobsesi hingga menimbulkan banyak pertanyaan dari benak mu dan lupa kalau kamu adalah manusia biasa.” Ucap Kai.
Silvia terdiam, apa benar ia selama ini tidak peka? Apa benar ia terlalu terobsesi? Ia bukan bermaksud terobsesi tapi ia hanya mencoba untuk peduli. Silvia merasa ada getaran dari handphone layar lebarnya, ternyata ada e-mail masuk dan itu dari Kris. Silvia memandangi Kris yang jauh, yang kini tengah menyesap cairan bening digelas elegan itu. Ia membukanya. Sebuah kalimat yang panjang ternyata.
**Seperti Caviar. Caviar adalah sebuah kue yang terlahir dari suatu bahan yang aneh jika dibandingkan dengan bahan-bahan kue yang pernah ada. Sama sepertimu, yang juga terlahir dari keluarga yang aneh menurutmu. Semuanya sudah tertata rapih, sehingga kamu terobsesi untuk mengubahnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam benakmu tanpa pernah bertindak. Seperti Caviar yang tak pernah peka akan kenyataan hidupnya. Ia sudah berubah menjadi Kue bangsawan, dipuja hanya karna berasal dari bahan telur ikan sturgeon liar yang langka, tanpa bisa menyadari dirinya adalah bangsawan, karna dia adalah benda mati, pencetak uang dan hanya untuk dimakan. Kamu juga seperti itu. Tak pernah peka akan kenyataan hidupmu, kamu berasal dari keluarga bangsawan tapi kamu tak pernah menyadari itu, karna kamu selalu mengeluh akan hidupmu. Hingga kamu merasa kamu ini adalah benda mati yang hidup karna aturan. Kamu dan Caviar sama-sama dipuja, sama-sama bangsawan, berdarah biru dan hanya dapat disentuh oleh orang-orang yang sederajat denganmu. Kamu dan Caviar sama-sama belum bisa menanggung beban mahkota yang kalian kenakan, hingga semuanya terasa aneh. Kue itu memang terbuat dari bahan yang lezat, tapi jika manusia tak dapat merasakan kelezatannya, orang tak ingin membelinya bukan?Begitu juga kamu. Kamu memanglah orang kaya, tapi jika orang lain tak dapat ikut merasakan yang kamu rasakan, maka kamu tak ingin menjalaninya bukan?Karna kamu merasa terlalu berbeda.**
Silvia tersenyum setelah membaca kalimat itu, ia bisa menangkap apa yang dikatakan Kris, walaupun terlihat terlalu berbelit-belit. Pria itu tak pandai berkata-kata ternyata. Kai yang ada disebelahnya hanya memicingkan matanya melihat sahabatnya itu seperti orang gila, senyum-senyum sendiri dengan handphonenya.
       “Sudah tahu kenapa kamu disebut seperti Caviar?” Tanya Kai.
       Silvia mengangguk, “Ya, terlalu terobsesi dan tidak peka, Sebenarnya ada satu lagi.”
       “Apa?”
       “Sama-sama tidak bersyukur, caviar sudah berhasil menjadi terobosan baru, tetapi tidak mensyukuri dengan membuatnya mahal. Sama seperti ku sudah menjadi kaya tapi masih terlalu banyak bertanya. Kenapa begini ?kenapa begitu? Apa ini? Apa itu? Aku benar-benar tidak peka ternyata.” Jawab Silvia
       “Bagus kalau kau sudah tahu, sekarang hampirilah tunanganmu itu, ia terlihat seperti patung Hercules sekarang” Ucap Kai.
       Silvia tersenyum, dan segera berlari menghampiri pemuda yang kini telah ia tetapkan menjadi pangeran dihatinya. Memeluk leher pria itu dari belakang, membuat pria itu terkejut akan tingkahnya.
       “Mau berdansa denganku,pangeran Kris?”
       “Kamu bahkan tidak mencintaiku? Dan satu lagi, oh itu juga bukan gayamu” Jawab Kris.
       “Ayolah, aku sudah mencintaimu sekarang. Bukankah hanya ada dua cinta didunia ini? Cinta saat pandangan pertama dan cinta saat menjalaninya. Dan aku mendapat cinta yang kedua. Kau, Cinta yang pertama. Kita saling melengkapi bukan?” Tanya Silvia.
       “Baiklah, ayo” Ucap Kris akhirnya. seraya melemparkan senyumannya.

       Mereka berdua berdansa. Ditemani oleh alunan musik yang lembut. Berkat Caviar. Silvia menjadi mengerti tentang kehidupannya selama ini. Tentang pilihannya yang salah karena telah menjadi si Kaya yang terlalu banyak bertanya tapi tidak bertindak. Semuanya memang bertolak belakang antara si Kaya , Si Menengah atau Si Miskin , tapi yang perlu diketahui adalah semua yang bertolak belakang pada akhirnya pasti mempunyai tujuan yang sama. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dibenaknya soal kesenjangan sudah mulai terjawab satu-persatu dari sekarang.
       Apa yang sebenarnya tak diketahui Si Miskin? Dan apa yang tidak diketahui si Kaya? Ada berapa jawaban? 100 atau hanya 1?Jawabannya ada 1 yaitu Rasa Bersyukur. Si Kaya ingin seperti si Miskin dan Si Miskin ingin seperti Si Kaya.
       Apa yang tidak dimiliki si Kaya dari Si Miskin? Dan apa yang tidak dimilik si Miskin dari Si Kaya? Si Kaya tidak memiliki Kebersamaan , dan Si Miskin tidak memiliki sikap yang santai.
       Apa yang membuat si Kaya selalu ingin memperkaya diri? Agar ia dapat hidup tenang untuk masa depan keluarga. Mereka cenderung memikirkan keluarganya dulu baru memikirkan orang lain. Jadi jangan salahkan mereka. Tegur jika mereka menggunakan cara yang salah. Jangan dengan hujatan.
       Apa yang dilakukan oleh si Kaya? Dan apa yang dilakukan oleh si Miskin? Dalam kehidupan mereka. Mereka sama-sama melakukan sebuah usaha yang keras untuk mencapai sebuah kesejahteraan, walaupun dengan cara yang berbeda. Si Kaya cenderung lebih mudah , tapi Si Miskin memerlukan keringat dari pelipisnya.
       Lalu apa yang dicari si kaya dan si Miskin dari kehidupan? Mereka sama-sama mencari sebuah kebahagiaan. Untuk Keluarga, teman, dan juga untuk kekasihnya.
       See? Semua yang bertolak belakang mempunyai puncaknya,kan? Si Kaya dan Si Miskin memang bertolak belakang, tapi percayalah mereka hanya mencari sebuah kebahagiaan dari segala usaha mereka selama ini. Kesenjangan memang tidak akan pernah ada habisnya jika terus menerus kita pertanyakan. Karna dari tahun ketahun jumlah mahkota yang kita pilih memang akan selalu betambah.
Untuk saat ini, mahkota mana yang akan kalian pilih? Mahkota Cinta, Mahkota persahabatan, Mahkota si Miskin , Mahkota si Kaya atau Mahkota si Kaya Baru? Tentu disetiap mahkota memiliki resiko masing-masing. Mahkota cinta, maka kalian harus siap dengan resiko sakit hati. Mahkota persahabatan, maka kalian harus siap dengan resiko dikhianati. Mahkota si Miskin, maka kalian harus siap dengan resiko selalu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu. Jika Mahkota si Kaya , maka kalian harus siap dengan resiko godaan setan dimana-mana. Dan yang terakhir Mahkota si Kaya Baru, kalian harus siap dengan resiko beban yang kalian alami. Banyak yang mengalami depresi menjadi si orang KAYA BARU , karna ia merasa asing dan seolah-olah terkurung.
Dan sekarang semuanya sudah jelas,bukan? Semua ini bukan tentang CAVIAR atau Silvia si orang kaya baru yang terlalu banyak bertanya. Ini semua tentang kesenjangan yang berada dalam sebuah  pilihan yang kita ambil. Pertanyaan itu memang muncul dari dalam benak seseorang. Tapi Seseorang itu tak pernah bisa mengutarakannya. Karna seseorang ini adalah seorang rakyat kecil. Yang berusaha menyampaikan, Kalau Kesenjangan yang besar dapat tertutupi oleh Pilihan yang kita ambil, hanya perlu memahaminya dan menjalaninya.

“Bagaimana, kamu suka Caviarmu?”
“Ya, Aku Suka”

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar