By Silvia Sayuti Putri
Prolouge :
Semak-semak itu bergemercik tertiup
kerasnya angin yang berhembus menembus pepohonan. Dinginnya malam menembus
masuk kedalam tulang. Pedesaan yang terletak ditengah hutan tampak sunyi
tertutupi oleh gelapnya malam. Sebenarnya itu bukan pedesaan, melainkan sebuah
rumah-rumah kosong terbengkalai bekas koloni penjajah hutan, hutan Epping.
Mungkin nama hutan ini memang tak asing, hutan ini memang angker namun yang
tidak diketahui, terdapat keindahan didalamnya. Suara, makhluk-makhluk disana,semuanya
menarik mata, tapi begitu berbahaya.
Ketenangan hutan itu kini mulai terusik. Terusik oleh langkah kaki pasukan kuda yang mendekati pedesaan itu. Kuda hitam yang paling besar dibarisan paling depan itu berhenti, serta diikuti oleh pasukan kecil dibelakangnya. Pria dengan tudung putih turun dari kuda hitamnya, berjalan mendekati salah satu rumah yang sudah sangat hancur lebur. Pria itu menjulurkan lidahnya, menjilati debu-debu rumah itu, meresapi, apa yang membuat desa ini begitu hancur. Nafasnya terhenti sebentar, besitan-besitan kecil menggores penglihatannya, besitan aneh, tentang musuhnya.
Ketenangan hutan itu kini mulai terusik. Terusik oleh langkah kaki pasukan kuda yang mendekati pedesaan itu. Kuda hitam yang paling besar dibarisan paling depan itu berhenti, serta diikuti oleh pasukan kecil dibelakangnya. Pria dengan tudung putih turun dari kuda hitamnya, berjalan mendekati salah satu rumah yang sudah sangat hancur lebur. Pria itu menjulurkan lidahnya, menjilati debu-debu rumah itu, meresapi, apa yang membuat desa ini begitu hancur. Nafasnya terhenti sebentar, besitan-besitan kecil menggores penglihatannya, besitan aneh, tentang musuhnya.
“Hmm… Vampire.” Gumam pria bertudung
putih itu, namun masih dapat terdengar oleh pasukan dibelakangnya.
Pasukan yang menaiki kuda hitam itu
mulai turun satu-persatu begitu mendengar apa yang digumamkan ketuanya. Pria
maupun wanita mulai mendengus-dengus, nafas mereka mulai tidak teratur,
urat-urat yang berada didalam tubuh mereka mulai menonjol keluar. Ketua
bertudung putih itu sadar atmosfer ditempat ia berada sudah mulai berubah,
rakyatnya kesal. Para koloni Vampire itu sudah melanggar janji mereka. Janji
300 tahun yang lalu. Tapi ketua itu tak mau gegabah, selain Vampire.. ada satu
tersangka lagi. Tersangka yang selalu mengadu domba mereka, entah apa tujuannya
makhluk lainnya sejenis seperti mereka, juga tak mengerti hingga sekarang. Dia
yang tak boleh disebut namanya. Masih menghilang entah kemana, dan itu
juga termasuk ancaman. Suara auman sudah terdengar, gigi runcing nan tajam
milik kaumnya sudah terlihat sekarang, auman kemarahan , kebencian, haus dan
lapar. Kau tahu bagaimana darah mereka. Mereka penuh dengan keserakahan dan
kegelisahan. Gerakan kaumnya sudah mulai gusar, melihat ke sekeliling ruang
lingkup mereka, Mewaspadai jika ada serangan tiba-tiba. Serigala putih, yang
paling besar diantara yang lainnya, lompat datang menghadap sang Ketua, menuduk
hormat serta disertai dengusan yang masih belum hilang.
“Sir, Kaum Vampire itu melanggar
janjinya lagi, kita harus menyerang, koloni penjajah hutan adalah orang yang
harus kita lindungi, kita adalah Guardians mereka.” Ucap Serigala putih itu,
-Peter-
Auman sorak-sorak setuju dari
rakyatnya mendengung keras, menembus rembulan yang bersinar terang. Sang Ketua
mengetukan tongkatnya tiga kali, menandakan sebuah perintah untuk diam bagi
kaumnya. Teriakan sebuah panggilan samar-samar terdengar. Seorang kakek tua
berlari dengan tergesa-gesa menabrak serombongan serigala putih dihadapannya
demi menghampiri sang ketua yang tengah dilanda kebingungan. Kakek tua itu
menghampiri sang ketua dengan nafas terengah, dengan menyentuh pundaknya ia
memandang lekat kepada sang ketua. Ketua bertudung putih itu menatap tak
percaya, Apa ? Sudah lahir? Secepat itu? Mana mungkin, seolah mengerti atas
respon sang ketua, Kakek itu mengangguk dan segera menuntun sang ketua ke suatu
tempat yaitu Sungai pelangi, dengan iringan auman gembira, bukan kemarahan
lagi. Begitu sampai disana, ia dapat melihat seorang wanita terbujur lemas
dengan menggendong seorang bayi serigala tampan. Ketua itu begitu senang dan
segera menghampiri wanita itu, lebih tepatnya istrinya. Istrinya tersenyum, dan
memperlihatkan goresan yang terdapat diipunggungnya. Goresan dari kuku sang
ibu, bertuliskan namanya, -LAIME-
“Laime? He’s name is Laime?” Tanya
Sang Ketua, -Layor;
“Yes, merupakan gabungan dari nama
kita, kekuatan kita, dan keabadian kita, Layor and Merida, Laime” Jawab
Istrinya lemas, -Merida-
Sang Ketua – Layor- tersenyum dan
mengambil alih sang anak kedalam gendongannya,mengangkat tinggi –tinggi dibawah
sinar bulan. Kaumnya bersorak-sorak gembira, Serigala terakhir mereka telah
lahir, serigala yang telah diramalkan oleh Man in The Mon sebagai penyelamat
kaum mereka. Penyelamat dari musuh mereka, dan seorang penjaga penjajah hutan.
Laime lahir atas kekuatan ayah dan ibunya. Layor, merupakan ketua yang memiliki
postur tubuh besar dengan bahu lebar. Ia merupakan serigala putih, dengan gigi
taring yang gesit dan lincah, tak ada satupun yang dapat mengejarnya, mereka
akan letih, dengan jarak yang masih jauh. Ibunya, Merida, adalah seorang wanita
anggun, serigala putih yang penuh kelembutan disetiap bulunya, serigala putih
yang memiliki kuku listrik yang dapat membunuh siapapun yang mengancamnya.
Laime akan terlahir seperti itu, Serigala putih yang lincah dan Gesit dengan
Kuku Listrik dikaki dan tangannya.
Maih
bertanya siapa mereka?
They are is The Guardians Of Forest
Colonialists.
The Adventure will Begins!
TBC..
TBC..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar